Sunday, July 8, 2018

Novel Youkoso Jitsuryoku Shijou Shugi no Kyoushitsu e Bahasa Indonesia Jilid 7.5 Bab 2 Bagian 2


Classroom of the Elite Volume 7.5
Diterjemahkan oleh Ratico

Datang ke bioskop bukanlah hal yang aneh untuk kulakukan. Karena aku sering mengunjunginya selama liburan.

Bagi orang-orang, beberapa orang mungkin menganggap pengeluaran poin untuk mengapresiasi film sebagai pemborosan, tapi itu adalah hal penting yang tak terduga untuk memiliki beberapa minat juga.

Bagiku, mengapresiasi film menjadi hobiku. Di atas itu ideal untuk menjadi relaksasi, itu juga memungkinkanku untuk menyerap pengetahuan baru. Sering kali, aku mendapati rasa ingin tahuku dirangsang dengan memiliki sentuhan film pada berbagai mata pelajaran.

Tapi meski begitu, tak seperti film yang akan kutonton hari ini adalah film yang dibuat dengan keahlian seperti itu. Ini bukan film romantis yang manis yang ditonton oleh pasangan di tengah-tengah demam Natal.

Ini adalah film laga yang berfokus pada konflik kecil antara mafia pedesaan. Ada hari-hari ketika aku hanya ingin mengosongkan kepala dan menonton ceritanya.

Ngomong-ngomong, meskipun pemutaran film ini akan berakhir hari ini, tak berarti itu adalah karya yang sudah lama berjalan.

Ini adalah film B tanpa harapan.

Akibatnya, aku dapat memesan tempat duduk dengan mudah di internet tapi aku terus khawatir apakah akan pergi menonton atau tidak, dan akhirnya pada hari terakhir pemutarannya, yang dibawa oleh tujuan yang berbeda, itu adalah film yang telah kuputuskan untuk menonton juga.

Setelah interaksi singkat dengan resepsionis, aku menentukan waktu dan film yang akan kutonton. Aku menyerahkan lembaran yang dilaminasi dengan grafik tempat duduk yang tercetak di atasnya.

Ngomong-ngomong, salah perhitungan terjadi di sini. Kursi di bagian belakang yang biasanya kugunakan untuk mengapresiasi film sepertinya penuh dan tampaknya tak ada banyak ruang kosong.

Hanya dengan sedikit penundaan dalam pemutaran film populer yang dijadwalkan, tampaknya para pelanggan telah mengalihkan fokus mereka ke film ini sebagai gantinya. Di atas itu, mungkin itu juga karena Natal sudah dekat, tapi sebagian besar kursi sudah dipesan dalam dua pasang.

Daripada tak melihat apa pun sebagai pasangan, mari kita saksikan setidaknya satu. Mungkin sesuatu seperti itu.

Merasa pusat dari pembukaan besar di barisan depan akan membuatnya mudah untuk ditonton, aku memberi tahu operator itu. Seperti yang kulakukan, cukup beruntung tampaknya ada beberapa tempat kosong di bagian tengah, dan aku berhasil mengamankan kursi.

Aku bertanya-tanya apakah popularitas kursi paling ujung ada hubungannya dengan ada atau tidaknya pasangan? Aku tak tahu keadaan bioskop dalam hal itu.

Karena masih ada sekitar 20 menit sampai pemutaran dimulai, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu di sudut tempat pamflet ditampilkan. Dan sekitar 10 menit sebelum mereka mulai menerima orang masuk, aku masuk sendirian.

Dari belakang dengan ramai, para pasangan siswa masuk. Duduk di tengah barisan depan, aku dengan sabar menunggu film dimulai. Kursi di sekitarku mulai terisi dari titik yang relatif awal.

Aku mengarahkan pandanganku ke layar. Sebelum film yang sebenarnya dimulai, aku cukup menikmati menonton pengumuman awal film yang akan segera diputar.

Itu sebabnya sebelum pengumuman awal itu terjadi, aku selalu memastikan berada di tempat dudukku. Daripada menontonnya dari TV di kamarku sendiri, itu membangkitkan minat yang lebih besar padaku tentang film apa yang harus kutonton selanjutnya.

Layar besar semacam itu luar biasa menawan dan tak berlebihan untuk mengatakan bahwa aku membawa diriku ke bioskop dengan itu sebagai tujuanku.

Namun, saat ini, di bioskop itu bukan iklan film ceria yang terjadi melainkan iklan barang-barang toko yang sedang diputar.

Membalik nasi yang lembut dan penuh dengan sendok atau adegan di mana lumut laut yang renyah sedang dibakar di atas jala. Dan rekaman anak-anak yang makan nasi juga diputar.

Ketika waktu pemutaran semakin dekat dan kursi mulai terisi secara bertahap, aku menjadi ingin tahu seperti apa situasi yang sedang berlangsung dan melihat sekeliling.

Baris yang sama sekarang sebagian besar terisi dan di sebelah kananku duduk satu pasangan. Ke kiri, satu kursi di atas duduk pasangan lain. Menggunakan kegelapan untuk keuntungan mereka, mereka saling berpegangan tangan. Bahkan film dengan kualitas ini masih berhasil mendatangkan pasangan.

Karena tempat duduk di sebelah kiriku masih kosong, itu mungkin akan menjadi kursi kosong sampai akhir. Tak ada orang yang akan datang dan menonton film sendirian pada hari sebelum Natal.

Pada saat yang sama ketika aku menempatkan teleponku dalam mode senyap, untuk berjaga-jaga, aku juga mematikan daya. Kemudian, sekitar waktu yang sama saat aku melakukan itu, lampu-lampu di bioskop dengan lembut diredupkan dan pengumuman awal film dimulai.

Ini adalah awal dari momen-momen yang mengasyikkan.

Kemudian di waktu itu, bayangan mendekat padaku dari sisi kiriku. Seorang siswa kemudian menurunkan tubuhnya ke tempat duduk.

Tampaknya masih ada orang aneh sepertiku yang datang untuk menonton film sendirian pada hari sebelum Malam Natal. Hanya dengan dia memilih film ini saja aku ingin memberikan pujianku padanya.

Saat aku memikirkan itu, aku membiarkan pandanganku meluncur.

"................."

Aku akhirnya membuka mulutku tanpa berpikir.

Identitas siswa SMA itu adalah siswa Kelas C, Ibuki Mio.

Sehari sebelumnya, di atap, setelah insiden mencolok terjadi, perasaan canggung masih tertinggal.

Untungnya, lampu di dalam bioskop sudah dimatikan. Tak menyadariku, Ibuki mengarahkan pandangannya ke arah layar.

Aku berada di tempat orang-orang yang menonton film sampai akhir kredit selesai diputar, tapi jika aku tetap tinggal sampai akhirnya lampu akan menyala kembali. Tak membantu, hari ini aku akan mundur segera setelah kredit akhir bergulir.

Namun, aku melakukan kesalahan perhitungan tunggal di sini.

Yaitu, masalah yang sering terjadi di bioskop dengan 'sandaran tangan'.

Jika aku berada di pojok, aku pasti bisa menggunakan sandaran tangan untuk kedua lengan kiri dan kanan sendiri. Namun, di kursi selain di pojok, selalu berebut untuk mendapat sandaran tangan.

Sejauh aturan bioskop berjalan, tak ada peraturan yang menentukan sandaran tangan siapa dan dalam banyak kasus, siapa cepat dia dapat.

Karena pasangan yang datang sebelum aku sudah menggunakan sandaran tangan di sebelah kananku, aku berpikir untuk menggunakan sandaran tangan di tangan kiriku tapi Ibuki dengan santai menempatkan sikunya di sandaran tangan yang dimaksud. Ini tak seperti tak ada ruang bersama yang cukup di sandaran tangan untuk dua orang, tapi hanya dengan hal-hal kecil, siku akan saling menyentuh.

Mungkin dia menyadari hal itu, tapi Ibuki seolah-olah dia secara tak sadar mencoba memastikan sisi lainnya, melihat ke arahku.

Tentu saja, karena aku memperhatikan semuanya, mata kami bertemu.

"--Geh."

Gambar 2

Suara yang keluar segera adalah suara jijik dari Ibuki.

Karena iklan-iklan dan aransemen pendahuluan diam secara ajaib pada saat itu, aku dapat mendengarnya dengan cukup baik.

"Ini kebetulan, ya."

Merasa bahwa tak mengatakan apa pun itu akan sangat tak wajar, aku memanggilnya.

Namun, tanpa menjawabku, Ibuki mengalihkan tatapannya. Sepertinya dia berniat mengabaikanku.

Itu juga, memungkinkanku mengambil keputusan bahwa ini membuat segalanya lebih mudah bagiku. Memikirkan itu, aku berkonsentrasi pada layar.

Namun........

Sejak pemutaran dimulai, aku bisa merasakan tatapan tajam padaku dari sisi Ibuki.

Mungkin dia sangat ingin tahu tentang kehadiranku, tapi sepertinya dia tak terlalu fokus pada filmnya.

'Mengapa kau tak menonton film dengan benar?' Adalah apa yang ingin kutanyakan padanya tapi selama aku tak dapat berbicara dengan suara keras selama pemutaran yang ternyata sulit.

Lalu haruskah aku mencoba berbisik ke telinganya?

Tidak, jika aku melakukan hal semacam itu, Ibuki mungkin akan memarahiku. Di sini aku hanya harus menahan tatapan Ibuki dan menghabiskan waktu dengan pura-pura tak peduli. Untungnya, sejak kecil, aku telah terbiasa 'diamati'.

Tak membiarkan apa pun yang kusadari dalam benakku terlihat di luar, aku menonton film itu. Hanya saja, jika ada masalah, film itu sendiri bukanlah film yang sangat bagus. Benar-benar film B.

Sejak pemutaran dimulai, bukankah sudah waktunya untuk berhenti begitu berulang kali, aku bertanya-tanya. Mulai sekarang, untuk menyerang musuh, protagonis akan menyerbu wilayah musuh dan tepat sebelum klimaks itu.

Tepat sebelum adegan yang membuat telapak tangan berkeringat, tiba-tiba layar menjadi gelap.

Awalnya berpikir bahwa itu semacam pertunjukan, para siswa tetap diam dan terus melihat layar. Namun, tak peduli apakah kita menunggu selama 10 detik atau 20 detik, baik gambar maupun suara tak menunjukkan tanda-tanda kemajuan.

'Ini aneh?' Saat aku mulai memikirkan itu, sebuah pengumuman terdengar di dalam aula.

"Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Karena masalah dengan peralatan, pemutaran akan dihentikan sementara. Ini mungkin merupakan ketidaknyamanan tapi tolong bersiap-siap untuk beberapa saat."

Pengumuman itu muncul. Bahkan saat para siswa menyuarakan keluhan mereka sekaligus, tampaknya mereka telah memutuskan untuk diam-diam mengobrol sambil menunggu.

"Entah bagaimana aku tak beruntung....."

Seakan dia mengarahkannya padaku, Ibuki mengatakan itu sambil mendesah.

Apakah dia bermaksud mengatakan kesalahan karena masalah peralatan terletak padaku?

"Ini juga tak terduga untukku. Untuk berpikir kau akan datang ke bioskop hari ini."

Ke arahku, dia menjawab:

"Bukan urusanmu kapan dan jam berapa aku datang, kan?"

Mungkin dia tak menyukai apa yang kukatakan, tapi dia secara alami memberiku bantahan.

"Begitu juga aku."

Itu sebabnya aku menjawab seperti itu untuk mencocokkannya pada akhirnya.

"Kau..........."

Mengatakan sesuatu dan kemudian menutup mulutnya sejenak, Ibuki membuka mulutnya sekali lagi dengan tatapan yang kuat.

"Sampai sekarang, kau diam-diam mengejekku jauh di dalam. Aku tak bisa memaafkan fakta itu."

Bukannya aku tak mengerti perasaan marah Ibuki, tapi dia tak punya hak untuk menyimpan dendam padaku.

Bahkan jika aku menghiburnya, bahkan jika aku mengatakan itu tak terjadi, tindak lanjut seperti itu tak akan bekerja pada Ibuki. Itulah mengapa aku memilih untuk mengambil kebijakan terbaik.

"Itu adalah kekuatan, Ibuki."

"Hah........?"

Hanya sebagian dari bioskop, antara aku dan Ibuki, suasana yang tak nyaman mengalir. Tentu saja, itu berasal dari pihak Ibuki.

Tatapan tajam diarahkan ke arahku yang dipenuhi dengan kejengkelan dan kemarahan. Tapi, tanpa memikirkannya, aku terus berbicara.

"Tak peduli apa situasinya, jika kau hanya memiliki kekuatan untuk mengatasi lawan, itu tak akan menjadi masalah, bukankah itu benar? Hanya karena lawanmu kebetulan menyembunyikan kemampuan mereka, itu saja seharusnya tak menyebabkanmu untuk memberikan perhatian apa pun. Jika kau menghentikanku, Ryuuen dan yang lain bisa menang. Setidaknya, itu bisa diakhiri dengan imbang."

Jika setelah mengucapkan kata-kata kasar itu, aku telah dipukuli di atap itu, tak akan ada yang lebih jahat dari itu.

"Itu adalah........."

Itu adalah sesuatu yang benar-benar tak bisa dibantah oleh Ibuki. Itu adalah kekuatan seseorang.

Apakah lawanmu menyembunyikan kemampuan mereka atau tidak, itu seharusnya menjadi masalah sepele.

"Selain itu, tak seperti Ryuuen dan Sakayanagi, aku tak punya niat untuk membidik kelas atas juga tak memiliki niat untuk menonjol melalui kerja kerasku sendiri. Tentu saja, karena aku tak ingin menonjol, aku tak akan menunjukkan kemampuan yang tak perlu. Fakta bahwa aku juga bertarung melawan Ryuuen, adalah pilihan yang kubuat setelah menimbang pilihanku dengan skala dan memutuskan tak ada pilihan lain. Untuk mengejek lawanku, atau merendahkan mereka, aku tak pernah sekalipun berpikir untuk melakukannya."

Ini bukan sesuatu yang kukatakan untuk menghibur Ibuki.

Dalam arti, Ibuki mungkin merasa lebih terhina dari sebelumnya. Untuk mempermalukan lawan, yaitu dengan kata lain, untuk tak mengakui mereka sebagai ancaman. Tapi, yang ingin kukatakan adalah bahwa bagiku, Ibuki seperti batu di sisi jalan.

".......Aku tak menyukainya."

Betapa pun logisnya aku mengatakannya, jelas akan sulit baginya untuk menerimanya secara emosional.

"Kau bilang kau tak ingin menonjol, tapi itu aneh. Jika kau tak melakukan sesuatu untuk mendorong Ryuuen kembali ke pulau yang tak berpenghuni, sesuatu seperti ini tak akan pernah terjadi. Tidak, bahkan sebelum itu. Jika kau baru saja mengabaikan insiden kekerasan Sudou, itu saja."

"Itu benar. Kau mungkin benar pada poin itu."

Jika aku membiarkan Sudou diusir, membiarkan trik Ibuki untuk melemparkan Kelas D ke dalam kekacauan di pulau yang tak berpenghuni dan membiarkan ujian di kapal berjalan seperti biasa, Ryuuen tak akan melihat Kelas D dari awal. Khususnya, selama pertempuran dengan Kelas B, aku harus menyembunyikan diri.

"Meskipun kau mengatakan berbagai hal dengan mulutmu, kau menggunakan kemampuanmu. Meskipun kau bersembunyi, kau masih menggunakannya."

Aku memiliki hak untuk menggunakan kemampuanku sendiri.

Tapi, bagi Ibuki yang tak suka ungkapan semacam itu, pasti itu adalah kenyataan yang tak bisa diterima untuknya.

Mungkin Ibuki berpikir percakapan lebih lanjut akan membuang-buang waktu tapi dia menatap layar. Aku juga, tanpa keberatan, biarlah berlalu.

Apa pun yang terjadi, segera pemutaran akan dilanjutkan. Maka waktuku dengan Ibuki akan berakhir juga.

* * *

*Lumut laut (bahasa Inggris: sea moss): Emang katanya bener-bener lumut laut, bukannya rumput laut (seaweed). Istilah "rumput laut" adalah rancu secara botani karena dipakai untuk dua kelompok "tumbuhan" yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia, istilah rumput laut dipakai untuk menyebut baik gulma laut dan lamun. Lebih lengkapnya di sini!

Contact Form

Name

Email *

Message *